Kehadiran UU Keperawatan diharapkan
dapat meningkatkan kontribusi perawat dalam pelayanan kesehatan yang lebih
luas. Dengan layanan kesehatan oleh perawat yang kompeten dan berdedikasi
tinggi yang tersebar hingga pelosok negeri, akan, berdampak pada meningkatkan
kesehatan masyarakat yang lebih luas. Kehadiran perawat yang handal akan dapat
menurunkan angka kecacatan, kematian dan kekambuhan penyakit. Percepatan
pembangunan pelayanan kesehatan oleh pemerintah saat ini tanpa melibatkan
perawat dengan populasi 60%, tidak akan berhasil dengan optimal. Sebagai
contoh, saat ini format peran perawat di Puskesmas tidak jelas. Hal ini
berdampak pada masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Balita (AKB), meningkatnya prevalensi gizi kurang atau stunting serta naiknya
prevalensi penyakit tidak menular (PTM). Sementara di rumah sakit, akibat
kurang diperhatikanya peran dan kompetensi perawat berdampak pada rendahnya
efisiensi pelayanan kesehatan yang membebani pasien dan menurunkan akses
pelayanan kesehatan. Jelaslah, tren peningkatkan pembiayaan kesehatan di
Indonesia tidak berbanding lurus dengan peningkatan derajat kesehatan rakyat.
Hal
menarik di Era JKN untuk kita diskusikan karena beberapa pertanyaan mendasar
seperti : (1). Dimana posisi UU Keperawatan ini dalam program besar pemerintah
yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) melalui program JKN yang sudah
dirintis di awal tahun ini oleh BPJS Kesehatan ?? dan (2). Apakah kontribusi
dari undang-undang ini dalam rencana jangka panjang pemerintah menuju Universal
Health Coverage atau jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019 nanti
sebagaimana telah digariskan dalam peta jalan (road map) JKN 2012 - 2019
??
Discussion : Secara garis besar UU Keperawatan ini mengatur tentang
lingkup praktik keperawatan, Konsil Keperawatan, standar pendidikan profesi,
pendidikan berkelanjutan, registrasi tenaga perawat dan penyelenggaraan praktik
keperawatan. Sehingga template atau outline memang sama persis
dengan UU Praktik Kedokteran Nomor 29 Tahun 2004.
Bagian
yang menarik adalah BAB VIII tentang Penyelenggaraan Praktik Keperawatan
terutama pada Pasal 48 yang mengatur tentang Praktik Mandiri perawat. Pasal 37
sampai Pasal 47 mengatur praktik keperawatan secara komprehensif yaitu
menyangkut kewenangan perawat, hak dan kewajiban pasien, pengungkapan rahasia
pasien serta hak dan kewajiban perawat dalam konteks kerja perawat yang bekerja
di fasilitas kesehatan maupun mandiri.
Pasal
48 tentang Praktik Mandiri adalah yang paling menarik karena penulis mencoba
memasukkan spirit dari substansi pasal ini ibarat sebuah kepingan “puzzle”
dalam kerangka besar sistem JKN di Indonesia melalui BPJS Kesehatan. Pasal 48
Ayat (1) berbunyi : “Praktik mandiri dapat dilakukan secara perorangan dan
atau berkelompok”. Sedangkan Ayat (2) berbunyi : “Perawat dalam
melakukan praktik mandiri sekurang-kurangnya memenuhi persyaratan : (a) Memiliki
tempat praktik yang memenuhi persyaratan kesehatan; dan (b) Memiliki
perlengkapan untuk tindakan asuhan keperawatan di luar institusi pelayanan
kesehatan termasuk kunjungan rumah.” Makna dari pasal ini sangat jelas
bahwa perawat diperbolehkan baik secara sendiri ataupun berkelompok untuk
melakukan praktik pelayanan asuhan keperawatan bahkan di luar fasilitas
kesehatan termasuk kunjungan rumah (home visite).
Point
of View JKN : Pertama, Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2011 tentang BPJS menegaskan bahwa salah satu prinsip JKN adalah
kepesertaannya yang bersifat WAJIB dan telah digariskan sesuai peta jalan JKN
bahwa pada tahun 2019 seluruh warga negara Indonesia termasuk warga negara
asing yang bekerja di Indonesia lebih dari 6 bulan HARUS menjadi peserta BPJS. Inilah
yang disebut dengan jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage
(UHC) sesuai dengan komitmen global yang telah ditetapkan oleh World Health
Assembly (WHA) pada konferensi di Jenewa tahun 2005.
Kedua,
unsur-unsur penyelenggara JKN sebagaimana diatur dalam Pedoman Pelaksanaan JKN
(PMK No. 28 Tahun 2014) adalah : (1). Regulator (pemerintah melalui
kementerian); (2). Peserta JKN yaitu seluruh rakyat Indonesia termasuk pegawai
asing yang bekerja minimal 6 bulan; (3). Pemberi pelayanan kesehatan yaitu
Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan Fasilitas Kesehatan Tingkat
Lanjutan (FKTL) dan terakhir adalah (4). Badan penyelenggara yaitu BPJS.
Ketiga,
Pasal 36 Perpres Nomor 12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan menyebutkan
bahwa penyelenggara pelayanan kesehatan meliputi semua Fasilitas Kesehatan yang
menjalin kerjasama dengan BPJS Kesehatan atau pada keadaan tertentu
(kegawatdaruratan medik atau darurat medik) dapat dilakukan oleh fasilitas
kesehatan yang tidak bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Fasilitas Kesehatan
Tingkat Pertama (FKTP) yang dimaksud dalam PMK No. 28 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pelaksanaan JKN adalah : Puskesmas atau yang setara, Praktik Dokter,
Praktik Dokter Gigi, Klinik Pratama atau yang setara dan RS Kelas D atau yang setara.
Sedangkan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan (FKTL) adalah Klinik Utama atau
yang setara, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Khusus.
Ke-empat,
manfaat jaminan kesehatan sebagaimana disebutkan pada Pasal 20 Perpres No. 12
Tahun 2013 adalah manfaat medis berupa pelayanan kesehatan yang komprehensif
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif) sesuai dengan indikasi medis
yang tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan; dan manfaat non-medis
meliputi akomodasi dan ambulan. Pelayanan kesehatan meliputi pelayanan
kesehatan Rawat Jalan Tingkat Pertama (RJTP) dan Rawat Inap Tingkat Pertama
(RITP), pelayanan kesehatan Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL), Rawat Inap
Tingkat Lanjutan (RITL), pelayanan gawat darurat dan pelayanan kesehatan lain
yang ditetapkan oleh menteri.
Brief
Summary : Program JKN akan diikuti oleh
seluruh rakyat Indonesia pada tahun 2019 yang akan dilayani oleh fasilitas
kesehatan yang telah bekerjasama dengan BPJS dengan memberikan manfaat medis
dan non-medis yang bersifat komprehensif. Sehingga tidak terdapat celah atau
peluang untuk melaksanakan praktik mandiri pelayanan asuhan keperawatan karena
“puzzle-puzzle” itu sudah tersusun dengan rapi dan terstruktur dalam membentuk frame
atau kerangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dalam peta jalan JKN 2012-2019.
Conclussion : UU Keperawatan penting dalam konteks mengatur perawat
professional yang memiliki 3 aspek yaitu (1). Kompetensi (skill,
knowledge and attitude) melalui pengaturan tentang standar pendidikan
profesi dan pendidikan berkelanjutan; (2). Sertifikasi melalui
pengaturan tata cara registrasi dan penerbitan STR Perawat dan terakhir adalah
(3). Licensi melalui pengaturan tata cara penerbitan Surat Ijin
Praktik Perawat (SIPP). Ketiga komponen ini memang sangat penting untuk
menjamin profesionalisme dan legalitas tenaga perawat yang bekerja pada sarana
fasilitas kesehatan baik pada FKTP (Puskesmas dan Klinik) ataupun FKTL (Rumah
Sakit).
Namun UU Keperawatan menjadi kehilangan urgensi nya pada BAB dan Pasal yang
mengatur tentang praktik keperawatan mandiri. Karena jelas dalam kerangka
sistem JKN maka tenaga perawat bukanlah komponen dari sistem tersebut, akan
tetapi menjadi sub-component dari komponen Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama atau Lanjutan. Artinya, tenaga perawat hanya bisa menjalankan praktik
pelayanan asuhan keperawatan ketika ber-kolaborasi atau ber-affiliasi
dengan tenaga kesehatan medis (dokter) dalam sebuah lingkup yang disebut
Fasilitas Kesehatan (Faskes) baik FKTP ataupun FKTL.
Jadi,
Quo Vadis (R)UU Keperawatan ?? Semoga ini bukanlah sekedar
“hadiah alakadarnya” terakhir dari para wakil rakyat kita (DPR) yang sebentar
lagi akan berakhir masa tugasnya. Sekian.
(
disadur dari Kompasiana, Penulis: Tri
Muhammad Hani, dr. MARS, Kepala
Bidang Medis dan Keperawatan RSUD Bayu Asih Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat )